Ya Allah, Atas KemuliaanMu,KeagunganMu dan Belas EhsanMu limpahkan lah hidayahMu kepada kami,semuga kami semua berjumpa dengan sebenar-benar jalan untuk kami pulang kesisiMu........


Fekah tanpa tasauf fasik,Tasauf tanpa fekah zindiq

Thursday, June 02, 2011

Puasa Hakekat, Puasa Tarekat, Puasa Syariat

Materi Khutbah Tarawih, disadur dari Buku Madrasah Ruhaniah, karangan Jalaluddin Rahmat

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh
Ibu-Ibu, Bapak-bapak, adik-adik dan hadirin sekalian yang saya muliakan.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta kesehatan kepada kita semua sehingga kita masih bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan hingga memasuki hari yang ke 14 ini. Mudah-mudahan kita tetap diberi kekuatan sehingga dapat menyelesaikan ibadah shaum Ramadhan ini sampai selesai dengan sebaik-baiknya.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan kehidupan berahlak mulia kepada kita semua untuk mencapai ridha Allah SWT.
Pada kesempatan ini ijinkan saya untuk menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah puasa yang sedang kita jalani in.
Hadirin sekalian,
Hakikat Puasa adalah Tunduk pada Kehendak Illahi. Nabi Muhammad Saw bersabda : “ Semua amal anak adam dilipat gandakan. Kebaikan dilipat gandakan sepuluh sampai seratus kali, kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannnya hanya untuk Aku. Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan : kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya  (Al Bukhari dan Muslim)
Jadi hakikat puasa, menurut Nabi SAW adalah meninggalkan semua keinginannya selain untuk menjalankan perintah Tuhan, menanggalkan kehendak dirinya dan menjalankan kehendak Ilahi.
Dalam puasa, kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan ditenangkan dan dijinakkan melalui penaklukan kecenderungan secara sistematis pada kehendak Illahi. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Illahi, gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan nafsu.
Sebagai akibat dari pengendalian sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak bergantung pada lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia tetapi bukan bagian darinya. Orang yang berpuasa dengan penuh keimanan segera menyadari bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai mahluk yang ditakdirkan mencapai tujuan di seberang wujud yang material ini.
Lebih jauh lagi, sifat segala sesuatu yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugerah Illahi. Makan dan minum yang kita anggap sebagai hal yang biasa sepanjang tahun, pada waktu puasa tampak sebagai karunia dari surga (ni’mah) dan mencapai makna ruhaniah seperti sebuah sakramen. Berpuasa adalah memakai perisai kesucian dalam menghadapi hawa nafsu dunia.
Alhasil, hanya puasa dengan hakikatnya, puasa dengan ruhnya, yang akan menjadi sumber kekuatan muslim dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Illahi, ia menyerap tenaga yang tak terhingga. Puasa menjadi sumber energi untuk membersihkan jiwa dan raganya. Meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada yang Maha Kuasa adalah hakikat puasa.
Sebelum mencapai hakikat puasa, seorang muslim harus menjalankan tarekat puasa. Di sini dia mengendalikan semua  alat inderanya -yang lahir dan batin- dari melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan. Ia tidak saja mengendalikan mulutnya dari menyebarkan gossip, intrik, makian, dan ancaman; tetapi juga ia mengendalikan daya khayalnya dari rencana jahat atau niat buruk. Ia tidak saja menutup mata lahirnya dari pandangan yang dilarang Tuhan; tetapi juga menutup daya pikirnya dari melakukan kelicikan, pengkhianatan, dan penyelewengan.
Jauh sebelum sampai ke tarekat puasa, seorang Muslim tentu saja harus memenuhi syariat puasa – paling tidak, menahan untuk makan, minum dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Pada tingkat syariatpun, para ahli fiqih menegaskan bahwa puasa harus disertai dengan niat yang berdasarkan keimanan dan keinginan untuk mememperoleh ridha Tuhan. Tanpa imanan wahti saban, puasa kita tidak sah. Jadi termasuk yang menentukan sah-tidaknya puasa adalah niat. “Sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niatnya”, sabda Nabi Saw yang dikutip Bukhari sebagai hadis pertama dalam kumpulan hadisnya.
Berdasarkan niatnya ada dua macam puasa. Pertama, puasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dirinya di atas kebutuhan untuk mendapatkan ridha dan ampunan Tuhan. Kedua, puasa yang dilakukan untuk memperoleh Ridha Tuhan di atas kebutuhan dirinya. Secara syariat, yang pertama dihitung tidak sah. Secara psikologis, ia juga dianggap sebagai sebuah cara beragama yang tidak dewasa.
Orang yang menikmati puasanya, hanyalah orang yang melakukan puasa karena keimanan dan karena memenuhi kehendak Illahi – imanan wahtisaban. Inilah puasa yang difirmankan Tuhan : Puasa hanyalah untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya. Artinya pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa, selain Allah (dan dirinya sendiri). Seseorang tidak perlu khawatir kalau orang lain tidak mengetahui bahwa dia berpuasa, karena Tuhan selalu mengetahuinya.
Selanjutnya, Puasa yang dilakukan bukan untuk Tuhan adalah puasa tanpa jiwa. Bentuk tanpa jiwa hanyalah khayalan hampa.
Rasulullah SAW bersaba, “Syariat itu ucapanku, tarekat perbuatanku, dan hakekat adalah keadaanku”. Dengan merujuk pada sabda-sabdanya, kita melakukan berbagai ketaatan. Kita lakukan puasa kita dengan berpegang pada sabda nabi. Kita mengikuti petunjuk nabi dalam bersahur, berpuasa, berbuka, dan berdoa di malam hari. Inilah ketaatan yang paling mendasar, bagian terluar dari ajaran Islam. Inilah syariat. Ketika kita mencoba menerapkan perilaku nabi dalam perilaku kita, ketia puasa Nabi juga menjadi puasa kita, kita memasuki ketaatann yang lebih mendalam. Inilah tarekat. Ketika kita menyaksikan apa yang disaksikan nabi Saw, ketika tirai yang menutup mata kita dibukakan, kita memasuki wilayah hakikat.
Syariat, tarekat, dan hakekat tidak bisa dipisahkan. Ketiganya berjalin berurutan. Tidak mungkin mencapai hakikat tanpa tarekat. Tidak mungkin mempraktekkan tarekat tanpa syariat.
Demikian uraian singkat yang bisa saya sampaikan malah ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa ini dengan sebaik-baiknya. Semoga dengan ibadah puasa ini kita dapat mencapai tujuan puasa yaitu mencapai derajat taqwa yang setinggi-tingginya.
Billahit taufi wal hidayah, wassalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.