Ya Allah, Atas KemuliaanMu,KeagunganMu dan Belas EhsanMu limpahkan lah hidayahMu kepada kami,semuga kami semua berjumpa dengan sebenar-benar jalan untuk kami pulang kesisiMu........
Fekah tanpa tasauf fasik,Tasauf tanpa fekah zindiq
Fekah tanpa tasauf fasik,Tasauf tanpa fekah zindiq
Friday, December 16, 2011
Para Wali Allah Saling mengenal di alam ruhani
Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman bahkan beliaupun menyebutkan Qoddasallahu Sirrohu bukan Rodliyallohu ‘anhu seperti yang kebanyakan disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara dhohir Syekh Muhammad Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Mereka yang memperjalankan diri kepada Allah Azza wa Jalla akan saling mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Rasulullah adalah manusia yang paling utama, paling mulia, paling dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Beliau termasuk salah satu manusia yang telah kasyaf.
Kasyaf terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib.
Mereka yang kasyaf dapat mengetahui atau mengenal siapa-siapa yang melakukan “perjalanan” kepada Sang Kekasih , Allah Azza wa Jalla. Inilah yang dikiaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan perkataannya yang artinya “aku mendengar derap sandalmu di dalam surga”.
Bilal ra memperjalankan dirinya kepada Allah ta’ala dengan amal kebaikan berupa selalu menjaga wudhunya dan menjalankan sholat selain sholat yang telah diwajibkanNya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)
Dalam suatu riwayat. ”Qoola A’liyy bin Abi Thalib: Qultu yaa Rosuulolloh ayyun thoriiqotin aqrobu ilallohi? Faqoola Rasullulohi: dzikrullahi”. artinya; “Ali Bin Abi Thalib berkata; “aku bertanya kepada Rasullulah, jalan/metode(Thariqot) apakah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah? “Rasullulah menjawab; “dzikrullah.”
Apa yang dilakukan oleh Bilal ra, selalu menjaga wudhunya atau selalu menjaga dalam keadaan bersuci adalah termasuk dzikrullah atau amal kebaikan atau perbuatan yang dilakukan bukan atas diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla namun atas kesadaran diri. Ini adalah salah satu bentuk memperjalankan diri kepada Allah ta’ala atau mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan cintaNya atau ridhoNya
Dalam sebuah haditas Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (amal ketaatan), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan (amalan sunnah), maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya. (HR Muslim 6021).
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajarkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam : Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu aliahi wasallam menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu aliahi wasallam
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Tentang derajat/tingkatan para Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah mereka yang telah mencapai muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau mereka yang telah berma’rifat.
Mereka yang menjalankan tasawuf dalam Islam adalah mereka yang memperjalankan dirinya kepada Allah atau mereka yang berupaya untuk mencapai muslim yang ihsan atau berma’rifat
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link:http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan yakni
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Muslim yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi kalau ada yang mengaku-aku telah menjalankan tasawuf atau mengikuti tharikat atau mengaku-aku telah berma’rifat namun tidak menjalankan perkara syari’at seperti sholat lima waktu maka bisa dipastikan dia telah berdusta atau tharikat yang diikuti adalah thariqat palsu.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.
Nasihat Imam Syafi’i ra,
“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf (thariqat, hakikat dan ma’rifat) , dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ? [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ra
“Dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
http://myquran.
Friday, December 09, 2011
Cara camne nak belajar ilmu ghaib .
Zikir Untuk Memohon Seseorang Mengajar Ilmu Ghaib
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama ALLAH pak cik mulakan post. Alhamdulillah, masih ada kesempatan pada pak cik untuk update blog. Sekarang ni pak cik agak sebuk sikit sebab dah mula kawad pagi petang siang malam. Sampai melecet2 kelengkang pak cik ni haa, Sakit woo.. Sedey giler. Hari ni da 10 plaster pak cik pakai sebab nak kasi selesa.
Jadi, maafkan pak cik sebab tak dapat bercanda dengan korang lama2. Sebab musim kawad ni memang memaksa 110 percent tenaga dan membuat pak cik cepat sangat pewai. Jadi, hari ni pak cik nak ajarkan sebuah cara camne nak belajar ilmu ghaib .
“Baca lah asma ALLAH, “Ya Khobiru” sebanyak 800 kali. Nanti jika ada rezeki, akan ada seseorang seperti bentuk manusia akan mengajar korang mengenai ilmu ghaib”.
Terima kasih kerana terus membaca blog ni
Postedby : http://berkatrezeki.
Wednesday, December 07, 2011
Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?
Kenapa Menengadahkan Tangan ke Langit Ketika Berdoa?
Dimasukkan oleh IbnuNafisLabel: Soal Jawab Ibadah, Soal Jawab Untuk FahamOleh : Thoriq
Salah satu ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah (hal.61), beliau mengatakan,
Salah satu ulama Al Azhar, Al Muhaddits Syeikh Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi (1380 H) telah menyebutkan alasan kenapa disyariatkan menengadahkan tangan ke langit saat berdoa. Dalam beliau, Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah (hal.61), beliau mengatakan,
”Jika ada yang mengatakan,’kalau Allah Ta’ala terbebas dari arah, lantas kenapa menengadahkan tangan ke langit saat berdoa?’”
Beliau menjawab pertanyaan itu dengan jawaban Imam At Thurthusi (529 H), ulama Malikiyah dari Iskandariyah, yang termaktub dalam Ithaf As Sadah Al Muttaqin, syarah Ihya Ulum Ad Din (5/34,35). Dalam jawaban itu, At Thurthusi memberikan dua jawaban:
Pertama:
Hal itu berkenaan dengan masalah ubudiyah, seperti menghadap kiblat saat melaksanakan shalat, dan meletakkan kening ke bumi saat sujud, yang juga mensucikan Allah dari tempat, baik itu Ka’bah maupun tempat sujud. Sehingga, seakan-akan langit merupakan kiblat saat berdoa.
Kedua :
Karena langit adalah tempat turunnya rizki, rahmat dan keberkahan, sebagaimana hujan turun dari langit ke bumi. Demikian pula, langit merupakan tempat para malaikat, dimana Allah memutuskan maka perintah itu tertuju kepada mereka, hingga mereka menurunkannya ke penduduk bumi. Ringkasnya, langit adalah tempat pelaksanaan keputusan, maka doa ditujukan ke langit.
Jawaban At Thurtusi di atas sejatinya merujuk kepada jawaban Al Qadhi Ibnu Qurai’ah (367 H), saat ditanya oleh Al Wazir Al Muhallabi (352 H), seorang menteri Baghdad yang amat dekat dengan para ulama. Dimana suatu saat Al Muhallabi menanyakan,
“Saya melihatmu menengadahkan tangan ke langit dan merendahkan kening ke bumi, di mana sebenarnya Dia (Allah Ta’ala)?
Ibnu Qurai’ah menjawab,
”Sesungguhnya kami menengadahkan tangan ke tempat-tempat turunnya rizki. Dan merendahkan kening-kening kami ke tempat berakhirnya jasad-jasad kami. Yang pertama untuk meminta rizki, yang ke dua untuk menghindari keburukan tempat kematian. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala (yang maknanya),”Dan di langit rizki kalian dan apa-apa yang dijanjikan.”(Ad Dzariayat: 22). Dan Allah Ta’ala berfirman (yang maknanya),
”Darinya Kami ciptakan kalian, dan padanya Kami kembalikan kalian.”(Thaha: 55).
_______________________
Dinukil dari Al Manhu Al Mathlubah fi Istihbabi Raf’i Al Yadaini fi Ad Du’a` ba’da As Shalawati Al Maktubah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, cet 2 (2004) dengan tahqiq Syeikh Al Muhaddits Abdu Al Fattah Abu Ghuddah.
Sumber : Http://almanar.
Isbal - melabuhkan pakaian hingga menutupi jari kaki, ada ulamak yang mengatakan orang yang melabuhkan pakaian seperti itu adalah lambang orang yang sombong berjalan di muka bumi.
Tetapi ada juga ulamak yang mengatakan bahawa ia bergantung pada niat, sekiranya tujuannya untuk menyombong maka ia dilarang.
Keterangan dari ustaz al bakistani :
Dr ’Ali Jumaah pernah berkata bahawa ulama usul fiqh menyatakan, hukum yang lahir dari Nas, terbahagi kepada dua, iaitu ”Al-hukm Lizatih” dan ”Al-hukm lighairih”.
”Hukum lizatih” bermaksud, hukum yang sememangnya wujud pada diri atau zat sesuatu nas, seperti pengharaman arak, kewajipan solat, berpuasa dan sebagainya.
Adapun ”hukum lighairih” pula adalah, hukum yang difahami dari sudut yang lain, iaitu tidak memadai dengan merujuk kepada sesuatu nas sahaja, seperti hukum pengharaman terhadap memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali.
Merujuk kepada hadis-hadis nabi SAW, didapati bahawa Nabi SAW melarang memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali. Antara hadis tersebut adalah;
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Maksudnya;
”Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat mereka yang melabuhkan pakaiannya dalam keadaan sombong” (Muwatta’ : 1425)
Dari sudut ”hukum Lizatih”, daripada hadis ini, maka ulama mengeluarkan hukum bahawa haram memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali. Pun begitu, jika difahami hadis ini dari sudut ”Al-Hukm Lighairih”, pengharaman itu bukanlah dari sudut semata-mata melabuhkan pakaian, tetapi pengharaman itu bersebab wujudnya unsur sombong dikala memakai pakaian yang labuh.
Justeru itu, ulama menyatakan, keharaman melabuhkan pakaian bukannya bersifat mutlak, tetapi bersifat ”Lighairih” iaitu pengharaman yang mempunyai ”sebab”, iaitu ”sombong”.
Dengan itu, apabila seseorang memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali, tetapi tidak terdapat unsur sombong, maka ketika itu, hukumnya tidak haram.
Diterangkan juga di dalam laman web era muslim :
dan ada juga hadith yang menyentuh mengenai isbal ini iaitu :
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena khaila’(karena sombong dan bangga diri), Allah tidak melihatnya pada hari kiamat.” Abu Bakar As-Shiddiq ra berkata, “Ya Rasulullah, kainku ini longgar namun aku tetap menjaganya.” Rasulullah SAW bersabda,”Kamu bukan termasuk orang yang sombong dan bangga diri.” (HR Bukhari dan Muslim)
WaLlahua'lam
Sumber : http://www.eramuslim.
Tetapi ada juga ulamak yang mengatakan bahawa ia bergantung pada niat, sekiranya tujuannya untuk menyombong maka ia dilarang.
Keterangan dari ustaz al bakistani :
Dr ’Ali Jumaah pernah berkata bahawa ulama usul fiqh menyatakan, hukum yang lahir dari Nas, terbahagi kepada dua, iaitu ”Al-hukm Lizatih” dan ”Al-hukm lighairih”.
”Hukum lizatih” bermaksud, hukum yang sememangnya wujud pada diri atau zat sesuatu nas, seperti pengharaman arak, kewajipan solat, berpuasa dan sebagainya.
Adapun ”hukum lighairih” pula adalah, hukum yang difahami dari sudut yang lain, iaitu tidak memadai dengan merujuk kepada sesuatu nas sahaja, seperti hukum pengharaman terhadap memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali.
Merujuk kepada hadis-hadis nabi SAW, didapati bahawa Nabi SAW melarang memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali. Antara hadis tersebut adalah;
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Maksudnya;
”Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat mereka yang melabuhkan pakaiannya dalam keadaan sombong” (Muwatta’ : 1425)
Dari sudut ”hukum Lizatih”, daripada hadis ini, maka ulama mengeluarkan hukum bahawa haram memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali. Pun begitu, jika difahami hadis ini dari sudut ”Al-Hukm Lighairih”, pengharaman itu bukanlah dari sudut semata-mata melabuhkan pakaian, tetapi pengharaman itu bersebab wujudnya unsur sombong dikala memakai pakaian yang labuh.
Justeru itu, ulama menyatakan, keharaman melabuhkan pakaian bukannya bersifat mutlak, tetapi bersifat ”Lighairih” iaitu pengharaman yang mempunyai ”sebab”, iaitu ”sombong”.
Dengan itu, apabila seseorang memakai pakaian yang labuh sehingga menutup buku lali, tetapi tidak terdapat unsur sombong, maka ketika itu, hukumnya tidak haram.
Diterangkan juga di dalam laman web era muslim :
dan ada juga hadith yang menyentuh mengenai isbal ini iaitu :
“Siapa yang memanjangkan pakaiannya karena khaila’(karena sombong dan bangga diri), Allah tidak melihatnya pada hari kiamat.” Abu Bakar As-Shiddiq ra berkata, “Ya Rasulullah, kainku ini longgar namun aku tetap menjaganya.” Rasulullah SAW bersabda,”Kamu bukan termasuk orang yang sombong dan bangga diri.” (HR Bukhari dan Muslim)
WaLlahua'lam
Sumber : http://www.eramuslim.
Monday, December 05, 2011
Bahaya Taklid Dalam Tauhid
Oleh DR. ASMADI MOHAMED NAIM
![]() |
umat islam hanya mentauhidkan Allah yang esa dan tidak menyembah makhluk lain. |
APABILA ditanya dari mana nas al-Quran dan sunnah yang menyebut pembahagian yang jelas bagi tauhid tiga serangkai iaitu tauhid uluhiah, tauhid rububiah dan tauhid asma' wa sifat, pendokongnya yang mengaku berpegang dengan al-Quran dan sunnah pun, teragak-agak mendatangkan hujah.
Lantas mendatangkan hujah-hujah berbentuk taklid iaitu WAMY, ulama-ulama lain dan silibus-silibus beberapa buah universiti yang menyokong. Itu sebenarnya taklid.
Kadang-kadang didatangkan nukilan al-Baghdadi dalam al-Farq Baina al-Firaq berkaitan dengan tafsiran perkataan 'ahlussunnah' sebab mahu bergantung dengan ulama silam Ahlussunnah, namun ditiadakan syarahan bahawa Imam al-Baghdadi sebenarnya mensyarahkan tauhid Sifat di dalam kitab tersebut apabila beliau mensyarahkanfirqah najiah (firqah yang selamat). Bahkan perkataan 'tauhid-tauhid sifat' dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal itulah antara sifat-sifat 20.
Lihat bagaimana Imam al-Baghdadi mensyarahkan pandangan Ahlussunnah dalam mentauhidkan sifat Allah SWT:
"Mereka ijmak bahawa tempat tidak meliputiNya (Allah SWT tidak bertempat) dan masa tidak mengikatnya, berbeza dengan firqah al-Hasyamiah dan al-Karamiah, yang mengatakan Allah memegang arasynya".(Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, hal.256).
Dalam isu tauhid, amat merbahaya kita bertaklid. Sepatutnya didatangkan nas-nas yang jelas berkaitan pembahagian tiga serangkai tersebut bersesuaian sekiranya kita bersarjanakan al-Quran dan sunnah.
Kalau berdoa selepas solat secara berjemaah yang tidak ditunjuk oleh hadis secara jelas pun dituduh bidaah dan sesat oleh sesetengah orang (walau berdoa disuruh dalam al-Quran dan sunnah), apatah lagi isu pokok dan besar seperti tauhid.
Apabila ditanya, mana dalil al-Quran dan sunnah apabila anda mengatakan penyembah berhala bertauhid dengan tauhid rububiah (tanpa tauhid uluhiyah)? Lantas akan dinyatakan kata-kata si polan dan polan mengatakan perkara ini dan di sokong pula dengan ulama-ulama ini dan ini.
Persoalan saya: Kenapa tidak ada sepatah pun ayat al-Quran dan hadis atau kata-kata ulama-ulama Salafussoleh (tiga kurun pertama) mengenai perkara ini?
Memang benar ada ayat yang bermaksud:
Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, nescaya mereka menjawab: Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah SWT).(al-Zukhruf: 87).
Dalil ini digunakan untuk menunjuk- kan orang-orang Musyrik (penyembah berhala) beriman dengan iman rububiah. (Mohd. Naim Yasin, hal.11).
Namun kenapa tidak dicantumkan dengan ayat selepasnya?
Dan (Allah mengetahui) ucapannya (Muhammad): Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak beriman.(al-Zukhruf: 88).
Tidak pula al-Quran mahupun sunnah menyebut orang-orang Musyrik beriman dengan tauhid rububiah sahaja! Ini persoalan akidah, sepatutnya ada nasnya secara jelas.
Sebaliknya al-Quran mengatakan dengan jelas bahawa mereka bukan orang yang beriman. Bagaimana kita boleh mengubahnya mengatakan mereka beriman dengan tauhid rububiah? Mana dalilnya sebab ini persoalan akidah?
Ini adalah taklid. Kenapa kita membenarkan taklid dalam soalan akidah sebegini? Kita amat tidak adil apabila membenarkan taklid pada persoalan akidah sebegini.
Lantas kemungkinan saya pula ditanya:
Apa dalil kamu dari al-Quran dan sunnah yang menyebabkan kamu mengkhususkan Sifat 20 untuk Allah SWT?
Maka saya berkata:
"Bahawasanya Allah SWT bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, dan maha suci dari segala kekurangan. Sesungguhnya ketuhanannya melazimkan kesempurnaan mutlak secara khusus untuk ZatNya."Kemudian, kami memilih sifat-sifat terpenting daripada sifat-sifatNya yang maha sempurna dan kami menjelaskannya secara terperinci perkara-perkara dan keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengannya
(Lihat al-Buti, 1992, Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyyah, h108).
Adalah satu fitnah sekiranya kami dikatakan menghadkan sifat Allah SWT kepada 20 sahaja!
Saya mungkin ditanya lagi:
Mana dalilnya dari al-Quran dan sunnah? Saya akan mengatakan bahawa semua sifat dua puluh itu ada dalilnya di dalam al-Quran dan sunnah. Kalau mahu diperincikan, boleh dilihat dalam semua buku yang mensyarahkan Sifat 20.
Saya ditanya lagi: Bukankan Sifat 20 itu susunan Muktazilah?
Saya berkata:
Sekiranya saudara membaca sejarah Islam silam, saudara akan memahami bahawa pada zaman Khalifah Abbasiah iaitu Ma'mun bin Harun ar Rasyid (198H-218H), al-M'tashim (218H-227H) dan al-Watsiq (227H-232H) adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Muktazilah.
Dalam sejarah Islam, dinyatakan terjadinya apa yang dinamakan 'fitnah al-Quran itu makhluk' yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan kaum Muktazilah.
Pada masa itu, Imam Abu Hassan al-Asy'ari muda remaja, dan belajar kepada seorang Sheikh Muktazilah, iaitu Muhammad Abdul Wahab al-Jabai (wafat 303H).
Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) melihat terdapat kesalahan besar kaum Muktazilah yang bertentangan dengan iktiqad (keyakinan) Nabi SAW dan sahabat-sahabat baginda, dan banyak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Lantas beliau tampil meninggalkan fahaman Muktazilah dan menongkah hujah-hujah kaum Muktazilah.
Kefahaman Masyarakat
Bermula dari itulah, Imam Abu Hassan al-Asy'ari melawan kaum Muktazilah dengan lidah dan tulisannya. Justeru, susunan tauhidnya bermula setelah dia berjuang menentang Muktazilah dan mengembalikan kefahaman masyarakat kepada al-Quran dan sunnah.
Di atas jalannya, ulama silam menelusuri, antaranya ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365H), Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (wafat 411H)., Imam al-Hafiz al-Baihaqi (wafat 458), Imam Haramain al-Juwaini (wafat 460H), Imam al-Qasim al-Qusyairi (wafat 465H), Imam al-Baqilani (wafat 403H), Imam al-Ghazali (wafat 505H), Imam Fakhrurazi (wafat 606H) dan Imam Izzuddin bin Abd Salam (wafat 660H). (Lihat Kiyai Sirajuddin Abbas (2008). Aqidah ahlussunnah wal Jamaah, h21-23).
Tidak pernah wujud pertelingkahan antara penghuraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi dengan pengikut-pengikut mazhab fiqh yang empat.
Kemudian saya mungkin diperlekeh kerana pengajian sifat 20 ini bentuknya kaku, lantas contoh sindirannya ialah:
"Wujud maksud ada, lawannya tiada.... akhirnya semuanya tiada".
Saya katakan sememangnya cara perbahasan Sifat 20 kena diperbaharui dan diringkaskan.
Dalil-dalil al-Quran berkaitan sifat tersebut perlu lebih dipertekankan berbanding dengan dalil-dalil akal yang rumit-rumit yang mungkin zaman kita tidak memerlukannya.
Pada saya, mungkin penulisan seorang ulama Indonesia Kiai Sirajuddin Abbas bertajuk: Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, boleh digunakan untuk memudahkan kefahaman pembaca. Buku ini masih banyak dijual di toko-toko buku di Wisma Yakin, Kuala Lumpur.
Saya kemudian ditanya berkaitan dengan sahabat-sahabat saya yang mungkin belajar dan mengajar tauhid tiga serangkai ini?
Saya katakan pengalaman saya mendengar pensyarah-pensyarah dan sahabat-sahabat saya yang mengajar tauhid pecah tiga ini, ada di kalangan mereka tidak ekstrem, tidak sampai mengkafirkan/mensyirikkan golongan yang tidak sependapat.
Contohnya bila memperkatakan tawassul dan menziarahi kubur, ada di kalangan mereka menerimanya tanpa mengkafirkannya atau menyesatkannya.
Demikian juga persoalan penafsiran ayat-ayat sifat, ada yang tidak menerima/ tidak taklid bulat-bulat kenyataan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan lebih kepada menyerahkan kepada Allah SWT. Mereka lebih suka merujuk terus ke Ibn Taymiyyah berbanding Sheikh Abd Wahhab.
Di kalangan mereka (mengikut cerita adik saya ketika dia belajar di Universiti Yarmuk, Jordan), pensyarah Aqidahnya mengatakan: Kamu orang-orang Malaysia, ramai mengikut Ahlu sunnah aliran Asyairah.
Namun, tauhid yang diajarkan ini mengikut susunan Ibn Taymiyah kerana menjadi silibus Universiti ini (pada masa itu). Terserah kepada kamu mengikut keyakinan Asyairah itu (tanpa beliau menyesatkannya).
Mereka menyedari ramai ulama silam (sama ada muhadithin, fuqaha' atau mufassirin) dari kurun ke tiga Hijrah berpegang kepada huraian Imam Abu Hassan al-Asy'ari (wafat 324H) dan Imam Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333H).
Walaupun begitu, ada yang amat ekstrem dalam pegangannya sehinggakan menyesatkan imam-imam terdahulu yang berada dalam lingkungan ratusan tahun.
Semoga pembaca membuat pertimbangan dan terbuka berkaitan isu ini. Pada saya berpegang pada tauhid susunan dan huraian orang yang dekat dengan Rasulullah SAW (al-'ali) lebih selamat dari berpegang kepada tauhid orang terkemudian dan sekarang yang kelihatan cacar marba metodenya dan bertaklid dengan orang-orang baru (al-nazil).
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari kesesatan dan menganugerahkan kita jalan yang lurus.
Sumber : Utusan Malaysia
Bacaan Tambahan :
Ulamak-ulamak Asya'irohAqidah Al Azhar Oleh Dr Yusof al Qardhawi
Friday, December 02, 2011
Penjelasan Mengenai Hadith Jariyah (Di Mana ALlah?) Bab 9 Dan Bab 10
Perkataan Ulama' Muhaddith Muktabar dalam Menafikan Tempat dan Jisim bagi Allah s.w.t. (Suatu Pentunjuk Ke Arah Memahami Aqidah Tanzih Mereka)
Imam Al-Hafiz Abu Bakr bin Al-Husein Al-Baihaqi As-Syafi'e (458 H) (yang sering menjadi rujukan termasuklah bagi sesetengah kelompok mujassimah dalam cuba menisbahkan tempat bagi Allah) ada berkata:
Imam Al-Hafiz Abu Bakr bin Al-Husein Al-Baihaqi As-Syafi'e (458 H) (yang sering menjadi rujukan termasuklah bagi sesetengah kelompok mujassimah dalam cuba menisbahkan tempat bagi Allah) ada berkata:
(Al-Asma' wa As-Sifat: 400)
وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة، الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي (صلّى الله عليه و سلّم) "أنت الظاهر فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
Maksudnya: "Allah s.w.t. itu Maha Zahir kerana (kewujudannya) boleh didapati dengan bukti-bukti (daripada kekuasaanNya melalui alam ini) dan Maha Bathin kerana tidak boleh didapati (kewujudanNya) secara bertempat. Sebahagian para ulama' kami (aliran ahlus-sunnah) menafikan tempat bagi Allah s.w.t. dengan berpandukan dalil sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi: "Kamu Maha Zahir yang tiada di atas kekuasaanMu sesuatupun dan Maha Bathin yang tiada di sampingMu sesuatu pun". Jika tiada di atasNya sesuatu dan tiada di sampingNya sesuatu, jelaslah bahawasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat"
Imam Al-Muhaddith Umar bin Muhammad An-Nasafi (537 H) ada berkata"
(risalah Aqidah An-Nasafiyyah)
والمُحدِثُ للعالَم هو الله تعالى ، لا يوصف بالماهيَّة ولا بالكيفية ولا يَتمكَّن في مكان
Maksudnya: "Adapun yang mewujudkan alam daripada tiada adalah Allah s.w.t.. Dia tidak disifati dengan sebarang sifat mahiyyah, tidak disifati dengan sebarang tatacara dan tidak bertempat pada sebarang tempat"
Imam Al-Hafiz Ibn 'Asakir Ad-Dimasyqi (571 H) juga ada berkata:
(Tabiyyin Kizb Al-Muftari: 150)
كان ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان ، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه
Maksudnya: Allah s.w.t. wujud tanpa tempat. Maka Dia ciptakan Arasy dan Kursi tanpa berhajat kepada tempat. Dia wujud juga setelah menciptakan tempat sebagaimana Dia wujud sebelum menciptakan tempat (iaitu tidak bertempat).
Al-Hafiz Imam Ibn Al-Jauzi (597 H) juga ada berkata:
(Shoid Al-Khatir: 47)
الواجب علينا أن نعتقد أن ذات الله تعالى لا يحويه مكان ولا يوصف بالتغير والانتقال
Maksudnya: "Wajib bagi kita untuk meyakini bahawasanya zat Allah s.w.t. tidak diliputi oleh tempat dan tidak bersifat dengan sebarang perubahan dan perpindahan"
Bahkan, Imam Ibn Al-Jauzi mengarang satu risalah khusus dalam menolak golongan mujassimah yang berfahaman tuhan berjisim dan bertempat ini dengan nama "Daf Syubah At-Tasybih".
Imam Ibn Athir (606 H) juga ada menyebutkan:
(An-Nihayah fi Gharib Al-Hadith 4/32)
المراد بقرب العبد من الله تعالى القرب بالذكر والعمل الصالح ، لا قرب الذات والمكان لأن ذلك من صفات الأجسام ، والله يتعالى عن ذلك ويتقدس
Maksudnya: "Yang dimaksudkan dengan dekatnya hamba kepada Allah adalah kehampiran dengan zikir dan amal soleh, bukan dekat secara bertempat kerana bertempat adalah ciri-ciri kejisiman sesuatu jisim sedangkan Maha Suci Allah daripada sifat kejisiman tersebut…"
Imam Al-Qurthubi (671 H) ada menyebutkan juga:
(Al-Jami'e li Ahkam Al-Qur'an pada Surah Al-Baqarah ayat 255 (3/278) )
و "العليّ" يراد به علو القدر والمنزلة لا علو المكان ، لأن الله منزه عن التحيز
Maksudnya: "Adapun Allah "Maha Tinggi" itu bermaksud ketinggian keagungan dan kedudukanNya, bukan ketinggian tempat, kerana Allah s.w.t. tidak bertempat".
Seorang ulama' hadith agung pada zamannya, yang menjadi rujukan utama dalam bidang hadith iaitulah Imam Az-Zahabi yang sering diselewengkan maksud tulisan beliau oleh golongan mujassimah moden, juga ada berkata dalam menjelaskan pendirian dan aqidahnya yang berlepas tangan daripada fahaman "Tuhan bertempat":
(Siyar A'lam An-Nubala' 16/97-98)
وتعالى الله أن يحد أو يوصف إلا بما وصف به نفسه أو علمه رسله بالمعنى الذي أراد بلا مثل ولا كيف
Maksudnya: "Maha Suci Allah daripada dibatasi oleh sebarang batasan (samada tempat atau masa) atau Maha Suci Allah juga daripada sebarang sifat melainkan apa yang hanya disifatkan kepada diriNya atau apa yang diajarkan kepada para rasulNya dengan makna yang Dia sendiri kehendaki tanpa sebarang penyerupaan dengan makhluk dan tanpa tatacara…
Seorang ulama' hadith agung yang turut menjadi rujukan dalam bidang hadith iaitulah Al-Hafiz Imam An-Nawawi (676 H) juga ada berkata:
إن الله تعالى ليس كمثله شىء , منزه عن التجسيم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق(Syarah Sahih Muslim 3/19)
Maksudnya: "Sesungguhnya Allah s.w.t. tiada yang menyerupaiNya. Dia tidak berjisim, tidak berpindah-pindah, tidak diliputi oleh sebarang tempat dan tidak bersifat dengan sebarang sifat makhluk".
Imam Al-Hafiz Al-Karmani (786 H) menjelaskan tentang aqidah ini:
(fath Al-Bari: 13/412)
قوله ( في السماء ( ظاهره غير مراد ، إذ الله منزه عن الحلول في المكان ، لكن لما كانت جهة العلو أشرف من غيرها أضافها إليه إشارة إلى علو الذات والصفات
Maksudnya: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna zahirnya bukanlh yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. kerana Allah s.w.t. tidak bertempat pada sebarang tempat, tetapi oleh kerana posisi di atas adalah posisi yang paling mulia berbanding posisi lain, maka Allah s.w.t. menisbahkan posisi "atas" tersebut kepada diriNya sebagai petunjuk terhadap ketinggian darjat zat dan sifatNya."
Imam Al-Muhaddith Al-Hafiz Ahmad Al-Iraqi (826 H) berkata:
(Torh At-Tathrib 8/84)
...والله تعالى منزه عن الاستقرار والتحيز والجهة...
Maksudnya: "…sedangkan Allah s.w.t. tidak menetap di sesuatu, tidak mengambil ruang dan tidak bertempat…"
Imam Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqollani (852 H) berkata:
(Fath Al-Bari 3/30)
استدل به من أثبت الجهة وقال هي جهة العلو ، وأنكر ذلك الجمهور لأن القول بذلك يفضي إلى التحيز ، تعالى الله عن ذلك
Maksudnya: Golongan yang cuba menetapkan tempat bagi Allah menggunakan hadith ini (hadith nuzul) sebagai hujah bahawa Allah bertempat di atas, sedangkan jumhur ulama' (iaitulah ahlus-sunnah kesemuanya) mengingkarinya kerana perkataan tersebut (Allah bertempat di atas) membawa maksud Allah itu mengambil ruang (bertempat) sedangkan Maha Suci Allah daripada tempat…"
Imam Ibn Hajar r.a. berkata lagi:
(Fath Al-Bari 7/124)
فمعتمد سلف الأئمة وعلماء السنة من الخلف أن الله منزه عن الحركة والتحول والحلول، ليس كمثله شىء
Maksudnya: "Muktamad sebagai pegangan salaf dari kalangan ahlus-sunnah dan juga khalaf bahawasanya Allah s.w.t. tidak bergerak-gerak, tidak berubah-ubah dan tidak bertempat. Tiada yang menyerupaiNya.
Imam Al-Muhaddith Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-'Aini Al-Hanafi (855 H) (salah seorang pensyarah hadith Sahih Al-Bukhari) ada menyebut:
('Umdah Al-Qari 12/25/117)
تقرر أن الله ليس بجسم ، فلا يحتاج إلى مكان يستقر فيه، فقد كان ولا مكان
Maksudnya: Telah diketahui bahawasanya Allah s.w.t. tidak berjisim dan tidak memerlukan tempat untuk Dia menetap padanya. Dia wujud tanpa tempat
Demikianlah sedikit daripada ungkapan sebahagian para ulama' hadith yang jelas berlepas tangan daripada fahaman tuhan bertempat yang cuba diketengahkan oleh golongan mujassimah sehingga hari ini. Aqidah Islam yang sejahtera adalah aqidah tanzih iaitu menyucikan Allah s.w.t. daripada sebarang kekurangan termasuklah menyucikan Allah s.w.t. daripada bertempat dan berjisim.
Hanya mereka yang terus ingin mengikut ta'asub diri mereka terhadap kejahilan dan kesesatan mujassimah sahaja yang terus berkeras kepala untuk terus mempercayai tuhan wujud secara bertempat. Mereka tidak lain hanyalah mengikut hawa nafsu mereka, samada mereka menyedarinya ataupun tidak.
Dimasukkan oleh IbnuNafisLabel: Soal Jawab Aqidah
Ulasan-ulasan Para Muhadithin Muhaqqiqin (yang teliti) Terhadap Hadith Al-Jariyyah
Hendaklah difahami bahawasanya, hadith-hadith itu bukanlah suatu nas-nas yang mana semua orang boleh berinteraksi dengannya sesuka hatinya atau berdasarkan apa yang dikehendakinya. Para ahli ilmu khususnya ahli hadith mempunyai suatu manhaj ilmiah yang sangat luas lagi mendalam dalam menjadi panduan ketika berinteraksi dengan nas-nas Islami.
Kita akan kupaskan setelah ini, kecelaan bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang ilmu yang mendalam dalam bidang hadith, untuk menyelami perbahasan-perbahasan yang tinggi seperti membahaskan hadith ini dengan makna zahir lalu menyalahi fahaman as-sawadh al-a'zhom dalam memahaminya.
Imam Abu Hanifah ketika ditanya:
Hendaklah difahami bahawasanya, hadith-hadith itu bukanlah suatu nas-nas yang mana semua orang boleh berinteraksi dengannya sesuka hatinya atau berdasarkan apa yang dikehendakinya. Para ahli ilmu khususnya ahli hadith mempunyai suatu manhaj ilmiah yang sangat luas lagi mendalam dalam menjadi panduan ketika berinteraksi dengan nas-nas Islami.
Kita akan kupaskan setelah ini, kecelaan bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang ilmu yang mendalam dalam bidang hadith, untuk menyelami perbahasan-perbahasan yang tinggi seperti membahaskan hadith ini dengan makna zahir lalu menyalahi fahaman as-sawadh al-a'zhom dalam memahaminya.
Imam Abu Hanifah ketika ditanya:
(Al-Fiqh Al-Absath, Himpunan risalah-risalah Imam Abi Hanifah yang ditahqiq oleh Imam Al-Kauthari m/s 25)
أرأيت لو قيل أين الله تعالى ؟ فقال - أي أبو حنيفة : يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق ، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء ، وهو خالق كل شىء
Maksudnya: "Apa pendapatmu kalau kamu ditanya tentang di mana Allah?" Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Dikatakan kepadanya bahawasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat sebelum menciptakan tempat. Maka dia wujud sebelum wujudnya "di mana" it sendiri malah sebelum wujud sebarang makhluk. Allah s.w.t. yang Maha Pencipta bagi segala sesuatu…"
Ini jelas menunjukkan bahawasanya aqidah salafus-soleh tidak memahami aina Allah tersebut dengan membawa fahaman Allah bertempat di atas langit. Mereka menafikan tempat bagi Allah s.w.t..
Al-Hafiz Imam An-Nawawi berkata dalam syarah beliau terhadap Sahih Muslim tentang hadith aina Allah tersebut:
قوله صلى الله عليه وسلم: أين الله ؟ قالـت في السماء ، قال: من أنا قالت: أنت رسول الله، قال: أعتقها فإنها مؤمنة هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان:ـ
أحدهما: الإيمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شئ وتنـزيهه عن سمات المخلوقات.
والثاني: تأويله بما يليق به، فمن قال بهذا قال: كان المراد امتحانها هل هي موحدة تـقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة، وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين.
Maksudnya: "Hadith ini adalah daripada hadith-hadith sifat (mutasyabihat) yang dalam memahaminya ada dua mazhab (metod).
"Pertama: ialah beriman dengannya (hadith tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan aqidah bahawasanya Allah s.w.t. tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk.
"Kedua: mentakwilkan hadith tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hadith tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli tauhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (iaitu menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersolat) menunjukkan bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada posisi kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang solat".
Kemudian, Imam An-Nawawi menukilkan seperti berikut:
"Imam Al-Qadhi 'Iyad berkata:
لا خلاف بين المسلمين قاطبة - محدثهم ومتكلمهم ومقلدهم ونظارهم - أن الظواهر الواردة بذكر الله في السماء كقوله: ((أأمنتم من في السماء)) أنها ليست على ظاهرها، وأنها متأولة عند جميعهم...
"Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam sekaliannya samada dari kalangan ahli-ahli fiqh, ahli-ahli hadith mereka, ahli-ahli kalam, para pemuka mahupun pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu…" dan sebagainya tidaklah dimaksudkan dengan makna zahirnya. Bahkan, ianya ditakwilkan di sisi mereka semua (bukan difahami dengan makna zahir."
Imam Al-Qurthubi pula ada menyebut dalam kitab Al-Mufhim yang mensyarahkan lafaz-lafaz hadith dalam Sahih Muslim pada hadith Al-Jariyyah ini:
وقوله صلى الله عليه وسلم للجارية أين الله هذا السؤال من النبي صلى الله عليه وسلم أراد أن يُظهر منها ما يدلُ على أنها ليست ممن يعبُدُ الأصنام ولا الحجارة التي في الأرض، فأجابت بذلك وكأنها قالت إن الله ليس من جنس ما يكون في الأرض
وأين ظرف يسأل به عن المكان كما أن متى ظرف يُسأل به عن الزمان ...وهو لا يصحُّ إطلاقه على الله تعالى بالحقيقة إذ الله تعالى منـزه عن المكان كما هو منـزه عن الزمان بل هو خالق الزمان والمكان ولم يـزل موجودا ولا زمان ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
Maksudnya: "Adapun sabda Nabi s.a.w. kepada Al-Jariyyah tersebut dengan perkataan "Aina Allah?" merupakan soalan daripada Rasulullah s.a.w. yang mengkehendaki bukti daripada hamba perempuan tersebut samada dia bukan penyembah berhala mahupun penyembah batu yang di bumi. Maka hamba perempuan menjawab dengan jawapan tersebut seolah-olah cuba menjelaskan bahawasanya Allah bukanlah daripada jenis-jenis tuhan di bumi (yang disembah oleh musyrikin).
"Aina adalah perkataan yang ditanya dengan menggunakannya untuk mengetahui sesuatu tempat sebagaimana juga mata adalah perkataan yang ditanyakan untuk mengetahui masa… (Adapun pertanyaan dengan aina (di mana) tersebut) tidak boleh ditujukan kepada Allah secara hakikatnya kerana Allah s.w.t. tidak bertempat sebagaimana Dia tidak diliputi oleh sebarang masa. Bahkan Dialah pencipta masa dan tempat sedangkan Dia wujud sejak azali tanpa bertempat dan tanpa diliputi oleh masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali.
Imam Abu Al-'Abbas Ahmad Al-Qurtubi berkata juga lagi:
هو الله لا أيـن ولا كـيـف عنـده ولا حَدَّ يحويه ولا حصرَ ذي حَدِّ(Tobaqot As-Syafi'iyyah: terjemah Abi Al-Hasan Al-Asy'ari 3/428)
Maksudnya: Dialah Allah, tanpa di mana dan tanpa tatacara bagiNya. Dia tidak dibatasi oleh sebarang batasan yang meliputi.
Imam Husein bin Muhammad At-Tayyibi (743 H) ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini berkata:
(syarh At-Tayyibi 'ala Misykat Al-Masobih 6/340)
لم يُرِد - أي الرسول - السؤال عن مكانه - أي الله - فإنه منزه عنه
Maksudnya: "Tiada dikehendaki oleh Rasulullah s.a.w. ketika bertanya tersebut untuk bertanya tentang tempat bagi Allah s.w.t. kerana Maha Suci Allah s.w.t. daripada bertempat…"
Imam Jahbal (733 H) berkata pula:
tobaqot As-Syafi'iyyah Al-Kubra: 9/41)
ولا يقال له أين ولا حيث، يُرَى لا عن مقابلة ولا على مقابلة ، كان ولا مكان ، كوَّن المكان ، ودبَّرَ الزمان ، وهو الآن على ما عليه كان ، هذا مذهب أهل السنة ،
Maksudnya: "Tidak dikatakan bagi Allah, di mana dan bagaimana. Dia dilihat oleh orang-orang beriman di Akhirat tanpa bertentangan tanpa berpalingan. Allah wujud tanpa bertempat lalu menciptakan tempat dan mentadbir masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali (tanpa tempat). Inilah mazhab ahli sunnah. (
Imam Fakhruddin Al-Razi ada menyebutkan berkenaan hadith Al-Jariyyah ini bahawaasnya, ianya tidak membawa kepada Allah bertempat kerana dalil daripada surah Al-An'aam ayat 12 dan 13 menunjukkan bahawasanya tempat dan masa serta apa yang wujud dalam keterbatasan pada kedua-duanya adalah milik Allah s.w.t.. Oleh yang demikian, Allah s.w.t. tidak bertempat dan tidak diliputi oleh masa sama sekali. (rujuk Asas At-Taqdis dalam mensyarahkan hadith tersebut)
Imam Ibn Al-Jauzi ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini menyebutkan
قلت قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والأرض و لا تضمه الأ قطار، وإنما عرف بإشاراتها تعظيم الخالق عندها(Daf' Syubah At-Tasybih 189)
Maksudnya: Telah tetap bagi ulama' bahawasanya Allah s.w.t. tidak diliputi oleh langit mahupun bumi dan tidak terangkum dalam mana-mana tempat. Namun, Rasulullah s.a.w. mengetahui dengan isyarat hamba perempuan tersebut bahawa dia mengagungkan Maha Pencipta"
Imam Abu Bakr Ibn Al-Arabi pula berkata dalam syarh Sunan At-Tirmizi tentang hadith tersebut:
(Syarh Sunan At-Tirmizi 11/273)
والمراد بالسؤال بها عنه تعالى المكانة فإن المكان يستحيل
Maksudnya: "Yang dimaksudkan dengan soalan "Aina Allah" adalah bertanyakan kepada hamba perempuan tersebut tentang kedudukan Allah s.w.t. bukan bertanya tentang tentang tempat bagi Allah s.w.t. kerana tempat bagi Allah s.w.t. adalah mustahil…"
Imam Muhammad bin Khalifah Al-Ubbi dalam syarah Muslim beliau (Al-Ikmal) mengulas hadith tersebut dengan berkata:
(Ikmal Al-Mu'allim pada syarah hadith tersebut)
وقيل إنما سألها بأين عما تعتقده من عظمة الله تعالى، وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلاله في نفسها
Maksudnya: "Dikatakan bahawasanya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada hamba perempuan tersebut dengan soalan "aina" untuk bertanya tentang pegangan hamba tersebut tentang keagungan Allah s.w.t., lalu hamba perempuan tersebut menunjukkan ke langit dalam menjelaskan keagungan Allah dalam dirinya (bukan mengenai tempat Allah)"
Imam Muhammad As-Sanusi Al-Hasani dalam Mukammil Ikmal turut mensyarahkan hadith Al-Jariyyah tersebut dengan makna takwilan iaitu keagungan Allah s.w.t..
Imam Al-Baji ketika mensyarahkan hadith ini juga ada menyebut:
Rujuk kitab Al-Muntaqi.
لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه
Maksudnya: "boleh jadi yang dimaksudkan oleh hamba perempuan tersebut adalah menyifatkan Allah dengan ketinggian, iaitu ketinggian keagunganNya, kerana dikatakan seseorang itu di langit dengan makna ketinggian keadaannya dan ketinggian darjat kemuliaannya".
Demikian sedikit sebanyak syarah kepada hadith Al-Jariyyah versi aina Allah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini. Majoriti ulama' salaf dan khalaf iaitulah ulama' ahlus-sunnah wal jamaah memalingkan aina Allah daripada makna zahirnya yang membawa kepada kejisiman. Lebih jelas lagi, sebahagian besar daripada mereka (ulama' muktabar) membuat ulasan yang menafikan "sekeras-kerasnya" fahaman tajsim dan fahaman tuhan bertempat daripada hadith Al-Jariyyah ini, dengan memberi makna keagungan, ketinggian kedudukan Allah dan sebagainya.
Mereka mensyarahkan hadith Al-Jariyyah dengan makna keagungan dan sebagainya tanpa menetapkan makna zahir Allah di langit pada hadith Al-Jariyyah tersebut bukan berdasakan hawa nafsu mereka, sebagaimana dakwaan sebahagian mujassimah yang jahil lagi menyesatkan, tetapi berteraskan manhaj ilmiah yang sahih lagi mendalam.
Para ulama' hadith seperti Imam Al-Baihaqi, Imam Ibn Al-Jauzi, Imam An-Nawawi, Imam Az-Zahabi, Imam Al-Qurtubi, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani dan sebagainya yang terlibat dalam menafikan makna zahir aina Allah daripada Allah s.w.t. merupakan antara rujukan utama umat Islam dalam bidang hadith itu sendiri. Mereka tidak akan mengulas hadith Al-Jariyyah dengan hawa nafsu mereka, sebagaimana sangkaan golongan mujassimah sejak dahulu sehinggalah hari ini.
Adapun mereka yang jahil dan terus ta'asub dengan kejahilan serta para pemimpin mereka, lalu terus menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t. dengan nas-nas mutasyabihat terutamanya berkenaan hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim ini, maka merekalah sebenarnya yang samada jahil dengan kerangka dan manhaj ilmiah ulama' Islam, ataupun sengaja mengikut hawa nafsu mereka. Sememangnya mengakui kesalahann diri bagi diri yang sudah bersarang dengan ujub di hati, adalah suatu yang amat berat. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit ujub daripada hatiku ini dan hati umat Islam khususnya bagi mereka yang sudah terkeluar daripada landasan majoriti umat Islam ini. Amin…
Subscribe to:
Posts (Atom)